Jumat, 18 Maret 2011

kaum sufi berbicara

1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengalaman keagamaan dalam arti merasakan religiousitas sangat
didambakan oleh setiap pemeluk agama. Ini terjadi karena pengalaman
keagamaan terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan kehidupan manusia.
Kebutuhan tersebut adalah sesuatu yang bersifat universal, yang merupakan
kebutuhan kodrati setelah kebutuhan fisik terpenuhi, yakni kebutuhan akan
cinta dan mencintai Tuhan yang kemudian melahirkan kesediaan pengabdian
kepada Tuhan.1
Usaha manusia untuk berada sedekat-dekatnya, bahkan manunggal
dengan Tuhan adalah merupakan cermin kerinduan nurani manusia terhadap
Tuhannya. Usaha semacam itu bermula dari kesadaran manusia bahwa ia
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Kesadaran ini
menimbulkan pengalaman keagamaan pada dirinya mengenai hubungan
dengan Tuhannya itu, yang terefleksikan dalam sikap takut, cinta, rindu, dan
ingin dekat kepada-Nya. Pengalaman keagamaan itu kemudian terpolakan
menjadi suatu sistem ajaran yang mengajarkan bagaimana cara, metode
ataupun jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan yakni kembali
menyatu dengan Tuhan.2
Untuk mencapai tujuan tersebut manusia harus bisa keluar dari
kungkungan jasmani atau materi, sehingga dapat menemukan nilai-nilai rohani
yang dia dambakan. Untuk itu manusia harus berusaha melepaskan rohnya
dari kungkungan jasmaninya dengan jalan latihan yang memakan waktu cukup
lama. Latihan ini juga bertujuan untuk mengasah roh supaya tetap suci.3
1Ahmad Anas, Menguak Pengalaman Sufistik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, hlm. 41.
2Ridin Sofwan, Menguak Seluk Beluk Aliran Kebatinan, Aneka Ilmu, Semarang, 1999, hlm.
99.
3Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta hlm. 17.
2
Terdapat dua jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan mistik, yaitu
jalan purgative dan contemplative. Jalan purgative adalah jalan pembersihan.
Jalan ini ada dua model yaitu yang bersifat etika dan yang bersifat asketika.
Etika disini berwujud keharusan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik
dan keharusan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang dianggap kurang baik.
Sedangkan asketika merupakan kegiatan pembersihan yang lebih berat dan
bersifat penyiksaan diri, seperti mengurangi makan, minum, bertapa atau
lainnya. Jalan yang kedua merupakan jalan kontemplasi atau konsentrasi.4
Dalam kontemplasi ini terdapat unsur pengosongan pikiran dari segala sesuatu
serta memenuhi pikiran hanya dengan Tuhan.5 Hal ini dikarenakan dalam diri
manusia ada ego sejati, yaitu ego ketuhanan, tetapi ego ketuhanan itu ditutupi
dengan ego palsu yang setiap manusia memilikinya.6
Dalam Islam, aspek purgative dan komtemplative dilakukan melalui
praktek dzikir. Dzikir sebagai aspek purgative, karena dzikir merupakan
perilaku baik yang dilakukan untuk membersihkan rohani dari segala sifat
yang merintangi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dzikir juga sebagai
aspek kontemplative, karena dengan berdzikir akan melatih konsentrasi kesatu
titik yaitu Allah.
Dzikir secara harfiah berarti mengingat, menyebut, mengagungkan,
dan menyucikan.7 Yang dimaksud adalah mengucapkan dengan mengulangulang
salah satu nama-Nya dengan lisan dan mengingat-Nya dengan hati serta
mensucikan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya.8
Tujuan dari berdzikir terus menerus, pertama-tama adalah untuk
melatih konsentrasi kesatu titik tertentu. Seorang yang semula dicemari oleh
pikiran yang bercabang-cabang dan keinginan yang beraneka ragam, secara
4Romdon, Tasawuf dan Aliran Kebathinan, PT. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 1995,
hlm. 32.
5Ibid, hlm. 43.
6Hazrat Inayat Khan, The Heart Of Sufism, Terj. Andi Haryadi, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 2002, hlm. 255.
7Sudirman Tebba, Meditasi Sufistik, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004, hlm. 77.
8Zainun Kamal, Tasawuf dan Tarekat : Ajaran Esoterisme Islam, dalam Ahmad Najib
Burhani (ed.), Manusia Modern Mendambakan Allah, Iman dan Hikmah, Jakarta, 2002, hlm. 16.
3
bertahap akan terkonsentrasikan seluruh kekuatan mentalnya kepada satu titik
yaitu Allah.9
Sebagai metode penyucian diri, dzikir dapat membersihkan hati dan
pikiran dari segala sesuatu selain Allah. Dengan menyebut kata-kata suci,
khususnya nama-nama Allah beserta sifat-sifat-Nya secara berulang-ulang,
dapat menjadikan ingatan kepada-Nya benar-benar tertanam dalam hati.10
Hal ini menunjukkan bahwa, dzikir merupakan praktek sekaligus
keadaan esoteris. Sebagai keadaan esoteric dzikir mengandung paradoks,
karena sekalipun dzikir berarti ingat, tetapi pengalaman puncak yang dituju
praktek dzikir adalah melupakan segalanya kecuali Allah.11 Dalam aliran sufi,
seseorang diharuskan untuk melupakan segala sesuatu yang dapat dilihat,
benda-benda fisik duniawi dan apa saja selain Allah, dengan tujuan agar dapat
kembali pada ingatan orisinil ialah pengingatan kepada Allah.12
Setelah ingatan kepada Allah tertanam dalam hati, dzikir akan
melahirkan cinta kepada Allah serta mengosongkan hati dari kecintaan dan
keterikatan pada dunia fana ini. Jika pada saat yang sama telah mampu
memutuskan dirinya dari berbagai kesedihan dan ketakutan dunia ini, dan
mencurahkan perhatiannya pada dzikir dalam keadaan apa saja, maka hijab
(penghalang) yang terbentang antara hamba dengan-Nya akan tersingkap dari
hatinya.13 Pada diri sufi akan dipenuhi dengan kualitas ketuhanan dan
kecenderungan-kecenderungan nafsu badaniyahnya akan menghilang.14
Pada tingkat ini seorang sufi telah mencapai fana yakni leburnya
pribadi atau sirnanya kesadaran tentang manusia yang kemudian diikuti baqa’,
9Ibid., hlm. 17.
10Abdul Hadi W.M., Adab Berdzikir dan Falsafahnya, dalam Komarudian SF (ed.) dzikir
sufi, serambi ilmu semesta, Jakarta, 2000, hlm. 180.
11 Sara Suiri, The Taste of Hidden Thing : Images on The Sufi Path, Terj. Ilyas Hasan,
Demikian Kaum Sufi Berbicara, Citra Puisi, Mimpi, Ucapan, dan Anekdot dalam Tasawuf,
Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm. 159.
12Fadhlalla Haeri, The Element of Sufism, Terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, Jenjang-
Jenjang Sufisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 108.
13Mir Valiuddin, Contemplative Disiplines in Sufism, Terj. M.S Nasrullah, Dzikir dan
Kontemplasi dalam Tasawuf, Pustaka Hidayah, Bandung, 2000, hlm. 85-86.
14 Zainun Kamal, Loc. Cit.
4
artinya abadi atau langgeng dalam tafakur tentang Tuhan.15 Dalam kondisi ini
semua rahasia yang membatasi diri sufi dengan Tuhan menjadi satu dalam
baqanya abid dan ma’bud. Disini esensi, sifat dan tindakan sufi akan menjadi
esensi, sifat dan tindakan Tuhan, sehingga pada tahap inilah seorang sufi telah
menjadi insan Kamil (manusia sempurna).16
Sedangkan tujuan terakhir meditasi dalam agama Budha sekte
Theravada adalah tercapainya nirwana. Dimana manusia yang telah mencapai
nirwana akan merasakan kebahagiaan tertinggi, terbebas dari dukha
(penderitaan), terhindar dari samsara dan rentetan tumimbal lahir, yang berarti
merealisasi kebebasan mutlak.17
Manusia yang melaksanakan meditasi dapat melihat hidup dan
kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkeram oleh anicca
(ketidakkekalan), dukkha (penderitaan), dan anatta (tanpa aku yang kekal),
sehingga dapat menuju kearah pembersihan bathin, pembebasan sempurna dan
pencapaian nirwana.18
Dalam kenyataannya, terdapat kesenjangan antara substansi dzikir dan
meditasi dengan kenyataan yang terjadi dalam praktek yaitu tidak
terimplementasikannya substansi dzikir dan meditasi dalam kehidupan seharihari.
Karenanya harapan penelitian ini adalah dapat mengungkap substansi
dzikir dalam tasawuf dan meditasi dalam agama Budha sekte Theravada dan
pelaksanaannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa terungkap setelah
menggambarkan persamaan dan perbedaan dzikir dalam tasawuf dan meditasi
dalam agama Budha sekte Theravada tersebut.
Berangkat dari paparan diatas, maka masalah yang muncul yaitu
bagaimana substansi dzikir dalam perspektif tasawuf dan meditasi dalam
agama Budha sekte Theravada, dan bagaimana pelaksanaannya ditengah-
15 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973,
hlm. 79-80.
16 Ridin Sofwan, Op. Cit., hlm. 103.
17 Simuh, Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Bentang Budaya,
Yogyakarta, 2002, hlm. 199-200.
18 Mettadewi W., Bhavana (Pengembangan Batin), Akademi Budhis Nalanda, Jakarta,
1984, hlm. 8.
5
tengah dinamika masyarakat yang berubah demikian cepat ? Atas dasar itulah
yang menjadi latar belakang penulis mengangkat masalah ini dalam skripsi
yang berjudul “STUDI KOMPARATIF ANTARA DZIKIR DALAM
TASAWUF DAN MEDITASI DALAM AGAMA BUDHA SEKTE
THERAVADA (TELAAH FUNGSIONAL SUBSTANTIF).
B. Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan merupakan penjabaran dari tema sentral madalah
menjadi beberapa sub masalah yang spesifik, yang dirumuskan dalam kalimat
tanya.19 Maka yang menjadi pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan dzikir dalam tasawuf dan meditasi dalam agama
Budha sekte Theravada.
2. Apakah fungsi dan substansi dzikir dalam tasawuf dan meditasi dalam
agama Budha sekte Theravada.
3. Sejauhmana implementasi dzikir bagi umat Islam dan meditasi bagi umat
Budha sekte Theravada dalam kehidupan sosial.
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari pokok permasalahan diatas, maka skripsi ini
memiliki tiga tujuan yang ingin dicapai oleh penulis, yaitu :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan dzikir dalam tasawuf dan meditasi dalam
agama Budha sekte Theravada.
2. Untuk menghetahui fungsi dan subtansi dzikir dalam tasawuf dan meditasi
dalam agama Budha sekte Theravada.
3. Untuk mengetahui sejauhmana implementasi dzikir bagi umat Islam dam
meditasi bagi umat Budha sekte Theravada dalam kehidupan sosial.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu :
19 H. Didi Atmadilaga, Panduan Skripsi, Tesis, Disertasi, Pioner Jaya, Bandung, 1997, hlm.
87.
6
1. Aspek teoritis, yaitu untuk memperkaya khazanah kepustakaan Fakultas
Ushuluddin khususnya jurusan Perbandingan Agama, disamping sebagai
syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin.
2. Aspek praktis, yaitu untuk dapat diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat, agar lebih baik dalam membina kerukunan antar umat
beragama.
E. Tinjauan Pustaka
Hasil penelitian penulis terhadap terhadap buku-buku yang beredar di
pasaran, belum ada yang membahas secara khusus dan mendalam terhadap
judul diatas. Sedangkan terhadap sejumlah skripsi yang ada di perpustakaan
fakultas Ushuluddin pun belum ada yang membahas secara khusus judul
tulisan diatas. Akan tetapi yang dapat penulis temukan hanya beberapa skripsi
yang pada bagian tertentu dari isinya dapat dijadikan bahan studi banding
dalam mengangkat judul diatas. Skripsi-skripsi dimaksud sebagai berikut :
1. Konsep Ketuhanan Dalam Agama Budha (Perspektif Filsafat Perenial),
disusun oleh Sri Wahyuningsih (4199089). Dalam penelitiannya Sri
Wahyuningsih menyimpulkan, konsep Tuhan dalam agama Budha bersifat
impersonal, samar dan tanpa nama. Tuhan hanya digambarkan dalam
bentuk sifat-sifat dan prinsip universal yang meliputi tidak dilahirkan,
tidak diciptakan dan tidak tersusun. Tuhan dalam agama Budha bukan
merupakan sesuatu yang sentral atau pokok, sebab yang sentral dalam
agama Budha adalah manusia (antropor sentris). Agama ini menekankan
bagaimana manusia menapaki hidup untuk bangun (Budha) dan
memperoleh pencerahan dengan cara meditasi dari pada manusia menaati
perintah Tuhan.
2. Konsep Nafsu dalam Agama Islam dan Agama Budha, disusun oleh Siti
Khomaeni (4199062). Dalam kesimpulan skripsinya Siti Khomaeni
mengungkapkan, bahwa agama Islam maupun agama Budha memandang
manusia tidak mungkin hidup tanpa nafsu dan lepas sama sekali dari
nafsu, karena akan berakibat fatal dan menderita dalam hidupnya. Agama
7
Islam memandang nafsu mempunyai dua potensi yaitu positif dan negatif,
sedangkan menurut agama Budha nafsu mempunyai potensi negatif.
Dalam agama Islam, cara menundukkan nafsu jahat adalah mendidik nafsu
itu dengan kekuatan akal manusia. Sedangkan dalam Budha untuk
menghilangkan nafsu dengan latihan bertahap yang terdiri dari delapan
jalan utama.
3. Manusia Sempurna (Studi Perbandingan Antara Mistik Islam dan Mistik
Budha), disusun oleh Rini Isdiati (4100039). Dalam penelitiannya, penulis
tersebut menyimpulkan, manusia sempurna dalam mistik Budha disebut
Arahat yaitu orang yang telah dapat melenyapkan kekotoran batinnya
(keserakahan, kebodohan, kebencian, dan lain-lain), telah dapat
menjinakkan inderanya serta dapat meninggalkan nafsu duniawi. Ia telah
terbebas dari penderitaan karena mempunyai pandangan terang dan
pikirannya selalu tenang. Arahat dapat mensucikan jiwanya secara
sempurna, sehingga dapat mematahkan rantai tumimbal lahir atau
reinkarnasi. Akhirnya dapat mencapai nibbana (kebahagiaan abadi).
Sedangkan manusia sempurna dalam Islam disebut sebagai insan kamil,
yaitu manusia yang memiliki sifat-sifat utama karena telah berhasil
merealisasi sifat-sifat dan asma Allah dalam dirinya. Ia telah dapat
mencapai martabat paling tinggi dalam kesadarannya dan yang telah
menyadari sepenuhnya tentang kesatuan hakekatnya dengan Tuhan.
Dalam penelitian ini penulis akan meneliti jalan atau praktek untuk
mencapai manusia sempurna yaitu meditasi dalam agama Budha sekte
Theravada yang dikomparasikan dengan dzikir dalam tasawuf.
F. Metode Penelitian
Sebagai metode dan teknik yang penulis gunakan dalam penyusunan
skripsi ini :
1. Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan kajian skripsi ini, maka penelitian yang penulis lakukan
ialah menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research), yaitu
8
jenis penelitian yang data-datanya berasal dari dokumen-dokumen, baik
berupa buku, makalah maupun catatan-catatan lain yang terdapat didalam
perpustakaan.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan terdiri dari :20
a. Sumber data primer yaitu sumber data yang diperoleh dari bahanbahan
kepustakaan yang ada relevansinya dengan penelitian ini, seperti
buku-buku, majalah, skripsi, tesis, disertasi dan laporan-laporan ilmiah
lainnya. Diantara data tersebut Al Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, Al
Qusyairy An Naisabury, Risalatul Qusyairiyah, Mahavirothavaro
Mahathera, Samma Samadhi, Terj. Prha Chaluai Sujiwo Mahathera,
Samadhi Yang Benar, Mettadewi W., Bhavana (Pengembangan
Batin), dan sebagainya.
b. Sumber data sekunder yaitu sumber data yang merupakan data
penunjang yang dijadikan bahan untuk dapat menganalisa dalam
pembahasan skripsi ini. Berupa buku-buku atau sumber-sumber lain
yang relevan dengan kajian penelitian ini. Diantara buku tersebut : Mir
Valiuddin, Contemplative Disciplines in Sufism, Terj. M.S. Nasrullah,
Dzikir dan Kontemplasi Dalam Tasawuf, M. Zain Abdullah, Tasawuf
dan Dzikir, M. Afif Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa, Somdet
Phra Buddhaghosacariya, Maha Sathipatana Sutta Girimananda Sutta
dan Rahulavada Sutta, Terj. Goey Tek Jong, Samadhi.
3. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan pendekatan
analisis data kualitatif yaitu menganalisis dengan tidak menggunakan
pendekatan angka-angka statistik. Dengan perkataan lain analisis yang
tidak bisa diukur atau dinilai secara langsung dengan angka. Metode
analisa yang digunakan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah :
20 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah, Edisi 7, Tarsito, Bandung,
1989, hlm. 134-163.
9
a. Metode Hermeneutik
Cara menerangkan kata-kata dan teks yang dirasakan asing oleh
masyarakat, karena kata atau teks itu datang dari Tuhan yang berbicara
dengan bahasa langit, maupun yang datang dari generasi terdahulu
yang hidup dalam tradisi, atau mungkin juga datang dari bahasa
asing.21
Metode ini terutama digunakan untuk mengetahui dan memahami
secara lebih tepat tentang konsep dzikir dalam tasawuf dan meditasi
dalam agama Budha sekte Theravada.
b. Metode Deskriptif
Merupakan metode penelitian dalam rangka untuk menguraikan secara
lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian.22
Metode ini dipakai untuk mendiskripsikan yaitu menguraikan dan
menjelaskan fungsi substansi dzikir dan meditasi dan pelaksanaannya.
c. Metode Komparatif
Adalah usaha untuk memperbandingkan sifat hakiki dalam obyek
penelitian sehingga dapat ditentukan secara jelas tentang persamaan
dan perbedaannya.23
Metode ini digunakan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara
fungsi substansi dzikir dalam tafawuf dan meditasi dalam agama
Budha sekte Theravada dan tata cara pelaksanaannya.
Demikian pula penulis menggunakan cara berpikir ilmiah yang berangkat
dari kesimpulan yang umum menuju kepada yang khusus (metode
deduktif), dan sebaliknya mengurai dari yang khusus menuju pada
kesimpulan umum (metode induktif). Dalam hal ini metode deduktif
diaplikasikan dalam bab II dan bab III, sedangkan metode induktif
diterapkan dalam bab IV.
21 Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Paramadina, Jakarta, 1996, hlm. 126.
22 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, Rajawali Press, Jakarta, 1996, hlm. 116.
23Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta, 1990, hlm. 51.
10
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Pembahasan skripsi ini agar dapat terarah dan mudah dipahami, maka
dalam pembahasan ini penulis bagi menjadi lima bab yang masing-masing
menampakkan titik berat yang berbeda, namun dalam satu kesatuan yang
berkorelasi. Sistematika ini penulis kemukakan secara garis besarnya yaitu
sebagai berikut :
Bab pertama : bab ini berisi pendahuluan, merupakan gambaran umum
secara global namun integral komprehensif dengan memuat latar belakang;
pokok permasalahan; tujuan penelitian; manfaat penelitian; tinjauan pustaka;
metode penelitian; dan sistematika penulisan skripsi.
Bab kedua : bab ini berisi tinjauan umum tentang dzikir dalam tasawuf
yang meliputi pengertian dzikir dalam tasawuf, tata cara melaksanakan dzikir,
dan manfaat melaksanakan dzikir.
Bab ketiga : bab ini berisi tinjauan umum tentang meditasi dalam
Budha sekte Theravada, yang meliputi pengertian meditasi dalam Budha, tata
cara melaksanakan meditasi, dan manfaat melaksanakan meditasi.
Bab keempat, bab ini berisi analisis komparatif tentang kedua konsep
tersebut yang meliputi : pertama fungsi substansi dzikir dalam tasawuf dan
meditasi dalam agama Budha sekte Theravada; kedua implementasi dzikir
bagi umat Islam dan meditasi bagi umat Budha sekte Theravada dalam
kehidupan sosial.
Bab kelima, bab ini berisi penutup meliputi kesimpulan; saran dan
penutup.

Tidak ada komentar: