TINJAUAN UMUM TENTANG MEDITASI
MENURUT AGAMA BUDHA SEKTE THERAVADA
A. Pengertian Meditasi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata meditasi diartikan sebagai
pemusatan pikiran dan perasaan untuk mencapai sesuatu.1 Dari segi etimologi
meditasi berasal dari bahasa latin, meditatio, artinya hal bertafakur, hal
merenungkan; memikirkan, mempertimbangkan; atau latihan, pelajaran
persiapan.2
Sedangkan dari segi terminologi meditasi adalah penggunaan pikiran
secara terus menerus untuk merenungkan beberapa kebenaran, misteri atau
obyek penghormatan yang bersifat keagamaan sebagai latihan ibadah.3
Dalam agama budha kata meditasi dipergunakan sebagai sinonim dari
samadhi dan pengembangan batin (bhavana). Meditasi dinamakan sebagai
samadhi dikarenakan terdapat pemusatan pikiran pada satu obyek yang
tunggal. Dinamakan bhavana karena sebagai metode atau cara
mengembangkan batin.4
Istilah meditasi dalam agama budha sebagaimana diterangkan di
dalam sutta-sutta sebagai keadaan pikiran yang ditujukan pada suatu obyek
dalam arti kata yang luas, diartikan sebagai suatu tingkat tertentu dari
pemusatan pikiran dan bersatu yang tidak dapat dipisahkan sama sekali
dengan unsur-unsur kesadaran.5 Meditasi budhis yang dimaksudkan di sini
adalah meditasi yang benar. Meditasi yang benar adalah pemusatan pikiran
1Tim Penyusun KBBI DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, 1988,
hlm.808.
2K. Prenc.m., et al, Kamus Latin Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1969, hlm.525.
3Soraya Susan Behbehani, The Messenger Within, Terj. Cecep Ramli, Ada Nabi dalam
Diri, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2003, hlm.26.
4Teja S.M. Rasyid, Samadhi, Materi Pokok Program Penyetaraan D II GBAB-SD
DEPAG, Ditjen Bimas Hindu dan Budha dan Universitas Terbuka, Jakarta, 1993, hlm.6.
5Somdet Phra Buddhagosacariya, Mahasatipathanasutta dan Girimananda Sutta, Terj.
Goey Tek Jong, Samadhi, Metta Youth, Jakarta, 2002, hlm. 13.
27
pada obyek yang dapat menghilangkan kotoran batin tatkala pikiran bersatu
dengan bentuk-bentuk karma yang baik. Sedangkan meditasi yang salah
adalah sebagai pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan
kotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak
baik.6
Meditasi budhis dilakukan dengan pikiran. Melalui meditasi seseorang
berlatih agar terbiasa mengendalikan diri sendiri dengan menyucikan pikiran
dari berbagai macam kilesa (kotoran/ketidakmurnian) yang muncul dari
pikiran. Pikiran ini yang merupakan pengikat kilesa yang berada di dalamnya,
sehingga hal ini akan menyebabkan pikiran menjadi keruh dan kotor. Ketika
pikiran menyaksikan kerugian dan bahaya dari kilesa itu maka pikiran akan
berusaha melepaskan dan membuang semua kilesa keluar, sehingga pikiran
akan menjadi bersih dan cemerlang.7 Oleh sebab itu, meditasi dalam agama
Budha dipahami sebagai keadaan pikiran yang suci, awal yang diperlukan
untuk mencapai kemajuan yang lebih tinggi menuju kesucian sempurna, yaitu
tingkat arahat.8
Menurut Budha untuk mencapai kesempurnaan tidak perlu
menggantungkan diri pada upacara-upacara, kebaktian-kebaktian, dewa dan
makhluk-makhluk agung. Dia harus secara langsung memperhatikan gerakgerik
badan jasmani, ucapan dan pikiran, serta berusaha sekuat tenaga untuk
menyingkirkan kotoran-kotoran batin dalam dirinya, untuk memunculkan
pandangan terang.9
Sebagaimana Budha yang berhasil menghancurkan semua kotoran
batinnya dengan cara bermeditasi secara khusu’ tanpa memperoleh bantuan
atau bimbingan dari kekuatan apapun. Dengan memahami segala sesuatu
6Mettadewi w., Bhavana (Pengembangan Batin), Aklademi Buddhis Nalanda, Jakarta,
1984, hlm, 4.
7Pengantar Phra Nirodharangsi dalam Acharn, Theit Desarangsi, Meditasi Buddha,
Yayasan Dhammadipa Arama, Malang, 1991, hlm. 11.
8Teja S.M., Op.cit. hlm.7.
9Phra Buddadasa Mahathera, Viphassana Dhura, Sasanacariya, Jakarta, 1998, hlm.13.
28
(fenomena alam semesta) sebagaimana adanya, ia dapat mencapai penerangan
sempurna (tingkat kebuddhaan). Ia tidak dilahirkan sebagai seorang budhis,
tetapi ia menjadi budhis dengan usahanya sendiri. Sisa hidupnya dibaktikan
untuk menolong umat manusia dengan membabarkan ajaran-ajarannya, serta
memberi tauladan yang tanpa noda.10 Dalam dhammapada 276, budha
mengatakan: “engkau sendirilah yang harus berusaha, seorang tathagatha
(para budha) hanya penunjuk jalan”. Artinya nasib manusia dibentuk oleh
dirinya sendiri dalam usaha mencapai kebebasan.11 Para Budha hanya
penunjuk jalan, selanjutnya terserah kepada kita untuk mengikuti jalan
tersebut, berhasil atau tidak tergantung pada usaha diri sendiri.
Meditasi dalam agama Budha terbagi dalam dua macam, yaitu
meditasi samatha dan meditasi vipassana. Meditasi samatha yaitu suatu
tingkat awal (lokiya/duniawi) untuk mencapai ketenangan jasmani dan batin
melalui tercapainya pemusatan pikiran pada satu obyek.12 Dalam meditasi
samatha rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara
menyeluruh, akan tetapi hanya dapat mencapai tingkat-tingkat konsentrasi
yang disebut jhana-jhana13 dan mencapai berbagai kekuatan batin.
Ketenangan pikiran yang dihasilkan hanyalah salah satu keadaan yang
diperlukan untuk mengembangkan pandangan terang.14 Sementara meditasi
vipassana yaitu meditasi tingkat akhir (lokuttara/di atas duniawi) yang
tujuannya agar dapat mencapai pandangan terang untuk dapat melihat dengan
jelas dan terang tentang proses kehidupan yang selalu berubah tanpa henti
(anicca) dan selalu dicengkram oleh penderitaan (dukha) sehingga bisa
menembus (anatta) tanpa aku/konsep yaitu nirwana.15
10Ven Narada Mahathera, Keterangan Singkat Agama Budha, Yayasan Dhammadipa
Arama, Malang, 1994, hlm.3.
11Ibid., hlm.4.
12Somdet Phra Buddhagopsacariya, Op.cit., hlm.13.
13Jhana Merupakan Keadaan Batin diluar Sktifitas Panca Indra. Dimana Aktivitas Panca
Indra Berhenti, tidak Muncul Kesan-kesan yang Datang dari Semua Indra, Namun
Kesadaraaannya tetap Terpelihara, dan Batin tetap Aktif. Mettadewi w., Op.cit., hlm.21
14Ibid., hlm.21.
15Somdet Phra Buddhagosacariya, Op.cit., hlm.41.
29
Pandangan terang itu berarti kesadaran yang penuh terhadap tiga corak
kehidupan yang ini, yaitu: perubahan-perubahan (anicca), penderitaan
(dukha), ketidakkekalan (anatta). Dengan kata lain ia berarti pengenalan
yang sempurna terhadap kenyataan, bahwa segala sesuatu di dalam alam ini
adalah tidak kekal keadaannya, sementara, dan selalu berubah-berubah;
demikian pula jiwa manusia itu tidak kekal dan sebagai akibatnya adalah
penderitaan yang selalu terasa.16
Dengan melaksanakan meditasi vipassana kotoran-kotoran batin dapat
disadari dan dibasmi sampai ke akar-akarnya, sehingga meditator dapat
melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup dicengkram
oleh anicca (ketidakkekalan), dukha (penderitaan) dan anatta (tanpa aku yang
kekal) yang dapat menuju ke arah pembebasan sempurna, pencapaian
nirwana.17
Meditator yang telah mencapai nirwana berarti mencapai kebebasan,
bebas dari penderitaan secara total karena telah berhasil memutuskan mata
rantai sebab musabab terjadinya kelahiran kembali.18 Dalam kehidupannya
merasakan kebahagiaan yang tertinggi, kebahagiaan yang tidak dapat
terlewatkan, dimana penderitaan itu sudah tidak ada lagi, hal ini disebabkan
karena telah berhasil mencapai tujuan tertinggi dari kehidupannya dan dia
akan sadar bahwa setelah kehidupan ini tidak ada lagi kehidupan yang lain.19
Jika kita cermati uraian di atas, menjadi indikasi bahwa ajaran agama
Budha tidak bertitik tolak dari ajaran ketuhanan, melainkan berdasarkan
kenyataan hidup yang dialami manusia, yang mana kehidupan manusia itu
tidak terlepas dari dukha, maka uyang penting adalah bagaimana caranya
membebaskan dari dukha tersebut. Hal ini sebagaimana dinyatakan di dalam
16Douglas M. Burns, Meditasi dan Ilmu Jiwa, dalam Oka Diputhera (ed.) Meditasi II,
Vajra Dharma Nusantara, Jakarta, 2001, hlm.140.
17Mettadewi w., loc.cit.
18David j. Kalupahana, Buddhist Philosophy A Historical Analysis, Terj. Hudaya
Kandahjaya, Filsafat Buddha, Sebuah Analisis Historis, Erlangga, 1986, hlm. 65.
19Muji Sutrisno, Budhisme Pengaruhnya dalam Abad Modern, Kanisisus, Yogyakarta,
1993, hlm.97.
30
pokok ajaran budha Gautama bahwa hidup selalu dalam keadaan dukha atau
menderita.20 Dukha disebabkan oleh nafsu keinginan yang rendah (tanha).
Tetapi nafsu keinginan bukan satu-satunya sebab yang menimbulkan dukha,
meskipun nafsu tersebut merupakan sebab yang nyata, terdekat dan terpenting.
Tanha juga bukan merupakan sebab yang pertama, karena menurut paham
budhis, tidak ada sebab yang pertama mengingat segala sesuatu saling
bergantungan dan berkaitan. Tanha berpokok pangkal pada anggapan keliru
tentang adanya “aku” atau “ego” yang timbul; dari ketidaktahuan (avidya).21
Ketidaktahuan ini adalah semacam ketidaktahuan yang kosmis, ketidaktahuan
yang menjadikan manusia dikaburkan pandangannya. Ketidaktahuan ini
mengenai tabiat asasi alam semesta, yang memiliki tiga ciri yang mencolok,
yaitu:
1. Bahwa alam semesta penuh dengan penderitaan
2. Bahwa alam semesta adalah fana’.
3. Bahwa tidak ada jiwa di dalam dunia ini.22
Adapun pengertian dukha dalam konteks ajaran agama Budha itu
mempunyai makna yang mendalam dan luas yang diartikan sebagai rasa sakit,
penderitaan, kemalangan yang lawannya adalah kebahagiaan atau sukha.23
Sebagaimana diajarkan di dalam Catur Arya Satyani atau Empat Kesunyatan
Mulia, konsep dukha mencakup tiga pengertian. Yang pertama adalah
penderitaan biasa (dukha-dukha). Yang kedua, dukha sebagai akibat dari
perubahan-perubahan (vippar-madhuka). Suatu perasaan bahagia yang tidak
kekal, cepat atau lambat berubah, dan perubahan itu menimbulkan dukha.
Yang ketiga, dukha akibat ketergantungan lainnya (sankhara dukha).24 Apa
20Harun Hadiwiyono, Agama Hindu dan Budha, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001,
hlm.71.
21Krisnanda Wijaya Mukti, Wacana Buddha Dharma, Yayasan Dharma Pembangunan,
2003, hlm.135.
22Harun Hadiwiyono, Op.cit., hl;m.72.
23Mariasusai Dhavamony, Phenopmenology of Relogion, Terj. Sudiarja, Fenomenologi
Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1996, hlm.309.
24Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993,
hlm.228.
31
yang disebut makhluk terkondisi sebagai kombinasi dari lima agregat
kehidupan yang terdiri dari kelompok unsur jasmani (rupakhanda), perasaan
(vedana khanda), pencerapan (sanna kandha), bentuk pikiran (sankhara
khandha), dan kesadaran (vinnana khandha). Keempat agregat selain jasmani
merupakan unsur batin (nama).
Dari kelima kegemaran manusia tersebut antara yang satu dengan
yang lainnya saling berkaitan dan bergantung guna untuk berproses dan
bergerak dengan tujuan untuk menanggapi rangsangan dari luar secara
bersama-sama dalam suatu rentetan yang terjadi sesaat, kemudian hilang
kembali tanpa adanya unsur lain yang berperan dalam proses tersebut. Kelima
agregat tersebutlah yang menjadi penyebab dukha manusia dan sekaligus
sebagai penghalang bagi manusia untuk mencapai nirwana.25
B. Tata cara meditasi
Agar supaya praktek meditasi yang dilakukan berhasil, seorang
meditator harus memenuhi persyaratan baik faktor internal maupun eksternal.
Ada delapan persyaratan internal yang harus dipenuhi sebelum melakukan
meditasi,26 diantaranya adalah:
1. Memiliki sila, yaitu tidak melakukan perbuatan buruk dan melaksanakan
tugas atau kebajikan; sehingga membuat hati dan pikiran harmonis,
mendukung dan mempertahankan sifat-sifat baik.
2. Menghilangkan berbagai rintangan fisik (palibodha) yaitu kekhawatiran
yang menyangkut: keterikatan pada tempat tinggal, orang yang
bertanggung jawab terhadap keluarga dan pembantunya, pertimbangan
duniawi, tanggung jawab sosial terhadap teman dan pengikut, pekerjaan
yang tertinggal, kepedulian pada keluarga, kemungkinan menderita
penyakit.
25Ibid., hlm.228.
26Krishnanda Wijaya Mukti, Op.cit., hlm.232.
32
3. Mendekati guru dengan cara yang benar, hormat dan percaya terhadap
guru, memberitahukan apa yang kita inginkan darinya.
4. Mempelajari subyek meditasi (kammatthana) dengan baik, subyek yang
bersifat umum sesuai dengan watak meditator dan subyek yang spesifik
sesuai kebutuhan.
5. Memilih tempat atau lingkungan untuk latihan meditasi, sesuai dengan
watak meditator.
6. Memiliki obyek meditasi yang sesuai dengan watak masing-masing yang
dominan.
7. Melenyapkan rintangan-rintangan kecil, misalnya janji yang belum
dipenuhi, simpanan makanan, hal-hal yang menyangkut jasmani seperti
rambut, jenggot, dan lain-lain.
8. Dalam pelaksanaan meditasi, yang lebih penting lagi menimbulkan atau
mempertahankan gambaran batin.
Adapun persyaratan eksternal yang harus diperhatikan oleh seorang
meditator,27 yaitu:
1. Tempat tinggal yang pantas, misalnya jauh dari keramaian, bebas dari gangguan,
dan memberi kemudahan.
2. Wilayah yang mendukung, khususnya sebagai sumber mendapatkan makanan.
3. Pembicaraan yang baik dan berguna, menimbulkan motivasi dan menambah
pengertian tentang meditasi.
4. Orang-orang yang pantas, yaitu guru yang memberi petunjuk, teman-teman yang
baik yang dapat diajak berbicara mengenai dharma, orang yang memberi
sokongan sehingga kebutuhannya terpenuhi.
5. Makanan yang bermanfaat sesuai dengan watak meditator, yang sehat, dan
melindungi jasmani dari penyakit
6. Iklim yang baik, tidak terlalu panas atau dingin, yang nyaman sedikitnya selam
jangka waktu tertentu, dan udara yang baik.
27Ibid., hlm. 234.
33
Budha Gautama mengajarkan empat cara bermeditasi. Empat cara
tersebut adalah dengan duduk, berdiri, berjalan dan berbaring.28 Untuk pemula
memilih posisi meditasi dengan cara duduk bersila di lantai yang beralas,
dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri atau dalam posisi setengah
sila, dengan kaki dilipat ke samping. Kedudukan badan tegak lurus, tetapi
tidak kaku dan tidak bersandar pada belakang kursi atau pada dinding.
Hidung dan pusar terletak pada satu garis yang tegak lurus terhadap lantai.
Kedua tangan diletakkan dengan santai diatas pangkuan, tangan kanan diatas
tangan kiri, bertumpu dengan ibu jari saling menyentuh. Mata terbuka sedikit,
memandang santai pada ujung hidung hingga jarak kaki kedepan, atau
dipejamkan sepanjang kantuk tidak menyerang. Lidah menyentuh langit-langit
mulut dengan lebar dan bibir terkatup rapat. Agar terasa nyaman, tubuh harus
bersih dan berpakaian longgar.29
Meditasi duduk bisa didahului dengan beberapa gerakan latihan
pendahuluan. Tujuan latihan pendahuluan adalah untuk menyadari daerahdaerah
vital dari tubuh, membentuk kondisi fisik yang sehat dan mendapatkan
postur yang benar-benar baik.
Meditator yang memilih posisi berdiri, menempatkan kakinya sedikit
renggang. Kedua tangan di depan tubuh, tangan kanan memegang tangan kiri.
Keseimbangan tubuh harus dijaga supaya batin tenang.
Meditasi dengan cara berjalan disebut cankamana. Meditasi ini
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1. Berjalan dengan menghitung langkah kaki.
2. Berjalan dengan menyadari langkah maju, mundur, ke kiri dan ke kanan.
Menyadari gerakan kaki kanan sewaktu kaki kanan melangkah atau
28Mahavirothavaro, Samma Samadhi (Samadhi yang Benar), Terj. Phra Chaluai Sujivo,
Yayasan Bandung Sucinno Indonesia, Bandung, 1995, hlm.47.
29Dale Canon, Six Ways of Being Religious, Terj. Djam‘annuri, Enam Cara Beragama,
Ditpertais DEPAG RI, Jakarta, 2002, hlm. 307.
34
sewaktu kaki kiri melangkah. Gerakan setiap tangan pada waktu berjalan
juga harus disadari.
3. Berjalan dengan menggunakan obyek meditasi gambaran tubuh, seolah
melihat tubuh sendiri, dan mengamati seluruh kegiatan dan gerakan tubuh.
Posisi berbaring dilakukan dengan tubuh rebah ke arah kanan, dengan
kaki kiri di atas kaki kanan, seperti posisi tubuh Budha Gautama di saat
parinirwana. Posisi arah sebaliknya juga dimungkinkan, yang penting
bagaimana pikiran diarahkan.30
Untuk melakukan meditasi, seorang meditator memusatkan pikirannya
untuk menyatu dengan obyek secara berkesinambungan tanpa henti. Dalam
meditasi samatha ada empat puluh macam obyek meditasi obyek-obyek
meditasi ini dapat dipilih salah satu yang cocok dengan sifat atau pribadi
seseorang. Keempat puluh obyek meditasi itu ialah :
a. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu:
1. Pathavi kasina, yaitu wujud tanah.
2. Apo kasina, yaitu wujud air.
3. Tejo kasina, yaitu wujud udara atau angin.
4. Vayo kasina, yaitu wujud udara atau angin.
5. Nila kasina, yaitu wujud warna biru.
6. Pita kasina, yaitu wujud warna kuning.
7. Lohita kasina, yaitu wujud warna merah.
8. Odata kasina, yaitu wujud warna putih.
9. Aloka kasina, yaitu wujud cahaya.
10. Akasa kasina, yaitu wujud ruangan terbatas
b. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu:
1. Udhumataka, yaitu wujud mayat yang membengkak.
2. Vinilaka, yaitu wujud mayat yang berwarna kebiru- biruan.
30Mahaviorothavaro, Op.cit., 49.
35
3. Vipubbaka, yaitu wujud mayat yang bernanah.
4. Vicchiddaka, yaitu wujud mayat yang terbelah di tengahnya.
5. Vikkhahayitaka, yaitu wujud mayat yang digerogoti binatangbinatang.
6. Vikkhittaka, yaitu wujud mayat yang telah hancur lebur.
7. Hatavikkittaka, yaitu wujud mayat yang busuk dan hancur.
8. Lohitaka, yaitu wujud mayat yang berlumuran darah.
9. Puluvaka, yaitu wujud mayat yang dikerubungi belatung.
10. Atthika, yaitu wujud tengkorak.
c. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu:
1. Buddhanussati, yaitu perenungan terhadap Budha.
2. Dhammanussati, yaitu perenungan terhadap dhamma.
3. Sanghjanussati, yaitu perenungan terhadap Sangha.
4. Silanussati, yaitu perenungan terhadap sila.
5. Caganussati, yaitu perenungan terhadap kebajikan.
6. Devatanussati, yaitu perenungan terhadap makhluk-makhluk agung
atau para dewa.
7. Maranussati, yaitu perenungan terhadap kematian.
8. Kayagatasati, yaitu perenungan terhadap badan jasmani.
9. Anapanasati, yaitu perenungan terhadap pernafasan.
10. Upasamanussati, yaitu perenungan terhadap nirwana.
d. Empat appamanna ( empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu:
1. Metta, yaitu cinta kasih yang universal, tanpa pamrih.
2. Karuna, yaitu belas kasihan.
3. Mudita, yaitu perasaan simpati.
4. Upekkha, yaitu keseimbangan batin.
e. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang
menjijikkan)
36
f. Satu catudhatuvavattthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada
di dalam badan jasmani).
g. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu:
1. Kasinugaghatimakasapannatti, yaitu obyek ruangan yang sudah keluar
dari kasina.
2. Akasanancayatana-citta, yaitu obyek kesadaran yang tanpa batas.
3. Nattibhavapannatti, yaitu obyek kekosongan.
4. Akincannayatana-citta, yaitu obyek bukan pencerapan.
a. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda)
Dalam kasina tanah, dapat dipakai kebun atau segumpal tanah
yang dibulatkan. Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah telaga atau air
yang berada di dalam ember. Dalam kasina api, dapat dipakai api yang
menyala yang di depannya diletakkan seng yang berlubang. Dalam kasina
angin, dapat dipakai angin yang berhembus di pohon-pohon atau di badan.
Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-benda seperti bulatan dari
kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah atau
putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau bulan
yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan lain-lain.
Dalam kasina ruangan terbatas dapat di pakai ruangan kosong yang
mempunyai batas-batas di sekelilingnya seperti, drum dan lain-lain.
Di sini, meditator harus memusatkan seluruh perhatiannya pada
bulatan yang berwarna biru. Selanjutnya, dengan memandang terus pada
bulatan itu, meditator harus berjuang agar pikirannya berjaga-jaga,
waspada, dan sadar. Sementara itu, benda-benda di sekeliling bulatan
tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan tersebut kelihatan menjadi
semakin semu dan akhirnya menjadi bayangan pikiran saja. Walaupun
mata dibuka atau ditutup, meditator masih melihat bulatan biru itu di
dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti bulatan dari
rembulan.
37
b. Sepuluh ashuba (sepuluh wujud kekotoran ).
Dalam sepuluh asubha ini , di lihat atau dibayangkan sesosok
tubuh yang telah menjadi mayat diturunkan ke dalam lubang kuburan,
membengkak, bernanah, terbelah di tengahnya, hancur membusuk,
berlumuran darah, dikerubungi belatung, dan akhirnya merupakan
tengkorak. Selanjutnya, menarik kesimpulan terhadap badannya sendiri,
“ Badanku ini juga mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak
dapat dihindari.” Disinilah hendaknya meditator memegang dengan
teguh di dalam pikirannya obyek yang berharga yang telah timbul, seperti
gambar pikiran mengenai mayat yang membengkak.
c. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan )
Dalam Buddhanussati, direnungkan sembilan sifat Budha.
Kesembilan sifat Budha tersebut adalah Maha Suci, telah mencapai
penerangan sempurna, sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya,
sempurna menempuh jalan ke Nirwana, pengenal semua alam,
pembimbing semua manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan
manusia.
Dalam dhammanussati, direnungkan enam sifat dhamma. Keenam
sifat Dhamma itu adalah telah sempurna dibabarkan nyata di dalam
kehidupan, tak lapuk oleh waktu, menuntun ke dalam batin, dapat diselami
para bijaksana dalam batin masing-masing.
Dalam Sanghanussati, direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha
kesembilan sifat Ariya–Sangha itu adalah telah bertindak dengan baik,
telah bertindak lurus, telah bertindak benar, telah bertindak patut, patut
menerima persembahan, patut menerima tempat bernaung, patut menerima
penghormatan, lapangan untuk menanam jasa yang tiadataranya di alam
semesta.
38
Dalam silanussati, direnungkan sila yang telah dilaksanakan yang
tidak ternoda, yang dipuji oleh para bijaksana, dan menuju pemusatan
pikiran. Dalam caganussati, direnungkan kebajikan berdana yang telah
dilaksanakan, yang menyebabkan musnahnya kekikiran.
Dalam marananussati, meditator merenungkan bahwa pada suatu
hari, kematian akan datang menyongsong dirinya dan makhluk lainnya.
Tidak seorangpun yang mengetahui kapan, dimana dan melalui apa orang
akan meninggal, serta keadaan yang bagaimana menunggu setelah
kematian.
Dalam kayagatasati, meditator merenungkan tiga puluh dua
bagian anggota tubuh, dari telapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke
bawah, yang diselubungi kulit dan penuh kotoran bahwa di dalam badan
ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat,
tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usus,
saluran usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, keringat, lemak, air
mata, minyak kulit, ludah, cairan sendi, air kencing, air kencing, dan otak.
Dalam anapanasati, meditator merenungkan keluar masuknya
napas. Dengan sadar ia menarik nafas, dengan sadar mengeluarkan nafas.
Dalam upasamanussati, meditator merenungkan Nirwana yang
terbebas dari kotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran
tumimbal lahir.
d. Empat appamanna (empat keadaan yang tidak terbatas).
Dalam melaksanakan metta-bhavana, meditator harus mulai dari
dirinya sendiri, karena tidak mungkin dapat memancarkan cinta kasih
sejati bila ia membenci dan meremehkan dirinya sendiri. Setelah itu, cinta
kasih dipancarkan kepada orang lain.
39
Dalam karuna-bhavana, meditator memancarkan belas kasihan
kepada orang yang sedang ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan,
kesengsaraan, dan penderitaan.
Dalam muditha-bhavana, meditator memancarkan perasaan
simpati kepada orang yang sedang bersuka cita, ia turut berbahagia
melihat kebahagiaan orang lain.
Dalam upekkha-bhavana, meditator akan tetap tenang menghadapi
suka dan duka, ujian dan celaan.
e. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang
menjijikkan).
Dalam satu aharapatikulasanna, direnungkan bahwa makanan
adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut;
direnungkan bahwa apapun yang tlah dimakan, di minum, dikunyah,
semuanya akan berakhir sebagai kotoran.
f. Satu Catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada
di dalam badan jasmani).
Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam
badan jasmani terdapat empat unsur materi, yaitu:
1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu
yang bersifat keras atau padat. Umpamanya: rambut kepala, bulu
badan, kuku, gigi, dan lain-lain.
2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang
bersifat berhubungan yang satu dengan yang lain atau melekat.
Umpamanya: empedu, lendir, nanah, darah, dan lain-lain.
3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat
panas dingin. Umpamanya: setelah selesai makan dan minum, atau bila
sedang sakit, badan akan terasa panas dingin.
40
g. Empat Arupa (empat perenungan tanpa materi).
Dalam kasinugaghatimakasapannati, batin yang telah memperoleh
gambaran kasina dikembangkan ke dalam perenungan ruangan yang tanpa
batas sambil membayangkan, “ruangan! ruangan! tak terbatas ruangan
ini!“ dan kemudian gambaran kasina dihilangkan. Jadi, pikiran ditujukan
kepada ruangan yang tanpa batas, dipusatkan di dalamnya, dan menembus
tanpa batas.
Dalam akasanancayathana-citta, ruangan yang tanpa batas itu
ditembus dengan kesadarannya sambil merenungkan, “tak terbataslah
kesadaran itu.” Ia harus berulang-ulang memikirkan penembusan ruangan
itu dengan sadar, mencurahkan perhatiannya kepada hal tersebut.
Dalam natthibhavapannati, meditator mengarahkan perhatiannya
pada kekosongan atau kehampaan dan tidak ada apa-apanya dari kesadaran
terhadap ruangan yang tanpa batas itu. Ia terus menerus merenungkan,
“tidak ada apa-apa di sana! kosonglah adanya ini!”
Dalam akincannayatana-citta, meditator merenungkan keadaan
kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan, dan setelah itu ia
mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang
penghabisan, yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan
kesadaran sampai batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu
dicapai maka kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah
tidak ada pencerapan lagi.31
Ketika ketenangan fisik dan mental tercapai sepenuhnya, lahir dan
batin benar-benar berbahagia, dan selanjutnya memasuki keadaan
terkonsentrasi. Ada tiga tingkatan konsentrasi, yaitu: (1) konsentrasi sesaat
31Mettadewi w., Op.cit., hlm. 11.
41
(khanika-samadhi); (2) konsentrasi permulaan (upacara-samadhi); (3)
konsentrasi penuh (appana-samadhi).32
Ketiga tingkatan konsentrasi dianggap sebagai wujud dari
kesucian pikiran (citta-visuddhi), karena dikenali dari tidak adanya lima
rintangan batin (nivarana), apakah untuk sementara waktu saja atau untuk
waktu yang lebih lama sebagaimana yang diinginkan.
Konsentrasi permulaan akan tercapai ketika rintangan batin lenyap
sama sekali, dan faktor jhana belum mapan. Pada tahan ini muncul
penampakan gambaran batin (uggaha-nimitta). Jika gambaran batin dapat
dipertahankan dan menjadi obyek semadi hingga semua faktor jhana
berkembang, pada tahap lanjut gambaran batin terkendali (patibhaganimitta)
menjadi obyek semadi. Konsentrasi penuh tercapai apabila
gambaran batin terkendali dapat dipertahankan dan semua faktor jhana
telah mapan.
Konsentrasi penuh, pemusatan pikiran yang kuat memegang obyek
pada tingkat pertama disebut sebagai rupa jhana satu. Setelah mencapai
jhana pertama kali, seorang meditator harus melatih dirinya hingga mahir
(vasi). Pencapaian jhana pertama kali tidak menjamin bahwa keadaan itu
akan dapat dicapai kembali dengan mudah. Tanpa latihan lebih lanjut
jhana akan merosot. Meditator yang mahir (vasi) akan terampil
mengarahkan pikiran pada obyek, terampil masuk dan keluar jhana,
melacak kembali pencapaiannya dari tingkatan yang satu ke yang lain,
atau ia dapat berada dalam jhana selama waktu yang ia kehendaki.
Tingkatan jhana berikutnya dinamakan rupa jhana II-III-IV, berlanjut
dengan arupa jhana I-II-III-IV.
Tidak semua obyek meditasi dapat menghasilkan konsentrasi
penuh. Obyek meditasi yang berbentuk konkret menghasilkan pencapaian
32Ibid., hlm. 15.
42
konsentrasi lebih tinggi. Obyek meditasi yang memerlukan suatu latihan
pikiran ide, seperti perenungan terhadap sifat-sifat mulia Budha tidak
memberikan hasil demikian.33
Sedangkan pokok perenungan dari meditasi vipassana adalah batin
dan jasmani (nama- rupa) atau panca-khandha, yaitu memperhatikan
gerak-geriknya batin dan jasmani terus menerus sehingga dapat melihat
dengan nyata bahwa batin dan jasmani itu dicengkeram oleh ketidak
kekalan (anicca), penderitaan (dukha), dan tanpa aku (anatta).
Pengamatan obyek batin dan jasmani ini dikategorikan menjadi
empat kelompok, yaitu:
1. Kaya nupassana (perenungan terhadap badan jasmani)
Meditasi dengan obyek badan jasmani dilakukan dengan cara
menyadari keluar dan masuknya nafas (anapanassati). Dalam
anapanassati ini, tidak ada tekanan atau paksaan pada pernapasan.
Panjang dan pendeknya pernafasan harus disadari, tetapi tidak dibuatbuat
atau sengaja diatur. Jadi, bernafas secara biasa dan wajar.
Cara meditasi lain yang penting, ialah sadar dan waspada
terhadap segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri,
duduk, atau berbaring, sewaktu membungkukkan dan merentangkan
badan, sewaktu melihat ke muka atau kebelakang.
2. Vedana nupassana (perenungan terhadap perasaan)
Disini direnungkan perasaan yang dialami secara obyektif,
baik perasaan senang, maupun perasaan yang acuh tak acuh.
Direnungkan keadaan perasaan yang sebenarnya, bagaimana ia timbul,
berlangsung, dan kemudian lenyap kembali. Apabila perasaan telah
dapat diatasi dengan tepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh
apapun di dalam dunia ini.
33Teja S.M. Rasyid, Op.cit.,hlm.15.
43
3. Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran)
Di sini direnungkan segala gerak-gerik pikiran. Apabila pikiran
sedang dihinggapi hawa nafsu atau terbebas dari padanya, maka hal itu
harus disadari. Jadi, keadaan pikiran yang sebenarnya harus di amatamati,
agar batin menjadi bebas dan tidak terikat.
4. Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran)
Di sini direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam
rintangan (nivarana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima
kelompok faktor kehidupan (pancakkhanda), direnungkan bentuk–
bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua belas
ayatana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor
penerangan agung (satta bojjhanga), dan direnungkan bentuk-bentuk
pikiran dari Empat Kasunyataan Mulia (cattari ariya saccani)
Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam
rintangan (nivarana) ialah apabila di dalam diri orang yang
bermeditasi timbul nafsu keinginan, kemauan jahat, kemalasan dan
kelelahan, kegelisahan dan kekhawatiran, maka hal itu harus disadari.
Demikian pula apabila nivarana itu tidak ada di dalam dirinya, maka
hal itupun harus disadari. Sehingga mengetahui bagaimana bentukbentuk
pikiran itu datang dan timbul.
Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima faktor
kehidupan (pancakhandha) ialah dengan menyadari bahwa ini ialah
bentuk jasmani, inilah perasaan, inilah pencerapan, inilah bentuk
pikiran, inilah kesadaran. Sehingga dapat mengetahui bagaimana
caranya timbul dan bagaimana caranya lenyap.
Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan
indriya dalam dan luar (dua belas ayatana) ialah dengan menyadari
bahwa inilah mata dan obyek bentuk, inilah telinga dan obyek suara,
inilah hidung dan obyek bau, inilah lidah dan obyek kecapan, inilah
44
badan dan obyek sentuhan, inilah pikiran dan obyek pikiran, ia tahu
akan belenggu-belenggu yang timbul dalam hubungan dengan semua
itu. Ia tahu bagaimana cara menaklukkan belenggu-belenggu itu. Ia
tahu bagaimana caranya supaya belenggu yang telah dibuang itu tidak
timbul lagi kemudian.
Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor
penerangan Agung (satta Bojjhanga) ialah apabila di dalam diri
meditator timbul kesadaran (sati), penyelidikan Dhamma yang
mendalam (Dhamma-Vicaya), tenaga (Viriya), kesenangan (Piti),
ketenangan (Passadhi), pemusatan pemikiran (Samadhi), atau
keseimbangan (Upekkha), maka hal itu semua harus disadari bahwa
keadaan-keadaan ini tidak ada di dalam dirinya, sehingga mengetahui
bagaimana cara mengembangkannya dengan sempurna.
Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat
Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani) ialah dengan menyadari
berdasarkan Kesunyataan bahwa inilah penderitaan, inilah asal mula
dari penderitaan, inilah pemadaman dari penderitaan, inilah jalan
menuju pemadaman dari penderitaan. Meditator merenungkan
masalah-masalah yang timbul dan hancur dari bentuk-bentuk pikiran.
Akhirnya, meditator hidup bebas tanpa ikatan dalam dunia ini.34
C.Manfaat Meditasi
Praktek meditasi yang dilakukan secara benar, akan menghasilkan
kemajuan spiritual yang membuat hidup meditator menjadi lebih baik. Dalam
kehidupannya meditator dapat menghadapi masalah yang berhubungan
dengan mental dan kejiwaan dapat melenyapkan, setiap ketegangan dan
tekanan yang datang dalam kehidupan sehari-hari atau dapat mengendalikan
emosinya. Pada dirinya timbul sifat kesabaran, ketenangan dan kedamaian.
34Ibid., hlm. 17.
45
Hal tersebut berdampak pada keseimbangan batin, keharmonisan fisik, mental
dan spiritual, sehingga mampu untuk berpikir jernih dan kecerdasan.
Meditasi juga berpengaruh fungsi-fungsi organ tubuh yang bermanfaat
bagi kesehatan, seperti peningkatan kebugaran dan daya tahan tubuh hingga
penyembuhan sejumlah penyakit. 35 Dengan menjalankan praktek meditasi
selama bertahun-tahun, menjadikan kebiasaan hidup yang terarah dan
terstruktur, kepribadian lebih matang membuat seorang meditator lebih sabar,
lebih tahan menghadapi kesulitan lebih bersedia berkorban dan tidak
menggantungkan dirinya kepada orang lain. Dalam kehidupan bermasyarakat
memperhatikan norma etika, dan moral, dapat lebih mengenal cara hidup
dimasyarakat. Dengan meditasi dapat lebih memperoleh kebijaksanaan dalam
perilaku sehingga tidak sewenang-wenang, dan dapat memberi bimbingan
spiritual kepada lingkungannya.36
Adapun manfaat yang dirasakan dalam kehidupan sehari-hari oleh
seorang meditator diantaranya adalah:
1. Meditasi dapat membebaskan diri dari ketegangan relaksasi atau
pelemasan.
2. Meditasi dapat membantu untuk menenangkan diri dari kebingungan dan
mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun yang bersifat
tetap.
3. Meditasi dapat menumbuhkan kepercayaan kepada diri sendiri yang sangat
dibutuhkannya.
4. Meditasi dapat membantu untuk memberikan pengertian terhadap keadaan
atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya takut dan
selanjutnya dapat mengatasi rasa takut dalam pikirannya.
5. meditasi dapat memberikan perubahan dan perkembangan yang menuju
pada kepuasan hati.
35Krishnanda Wijaya Mukti, Op.cit., hlm.218.
36Ibid, hlm.220.
46
6. Meditasi dapat menghilangkan keragu-raguan dan dapat mengetahui nilainilai
yang praktis dalam bimbingan agama.
7. Meditasi dapat membantu menguatkan ingatan sehingga dapat belajar
lebih seksama dan lebih efisien.
8. Meditasi dapat menunjukkan sifat dan kegunaan dari kekayaan yang
diperolehnya, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk
kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain.
9. Meditasi dapat membantu untuk memiliki rasa puas dan ketenangan serta
tidak melampiaskan rasa isi hati terhadap orang lain yang lebih mampu
dari padanya.
10. Meditasi dapat memberikan pengertian yang lebih mendalam mengenai
kehidupan ini, dan pengertian tersebut akan memberi kelegaan dan
kebebasan dari penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini.
11. Meditasi dapat membantu untuk belajar menguasai nafsu-nafsu dan
keinginannya.
12. Meditasi dapat mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat
berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan kehidupannya.
13. Meditasi dapat memberikan kesadaran dan melihat bagaimana caranya
mengatasi kebiasaan yang berbahaya yang memperbudak dan mengikat
dirinya.37
Demikianlah manfaat praktis yang dapat dihasilkan dari latihan
meditasi baik yang mempengaruhi aspek jasmani dan aspek rohani manusia.
37Mettadewi, Op.cit., hlm. 6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar